Tuesday, July 10, 2012

•♫. Prosa Dari Al Haram. #Rehab Hati-Bag 5

Sore itu cahaya matahari melumuri Makkah al-Mukaramah. Sinar kuning keemasannya merekah membahana, laksana duta Tuhan yang ikut berbahagia menyaksikan kebahagiaan haru yang meliputi lautan manusia di masjid ini.


Kemilau sinarnya dipantulkan pilar-pilar Masjidil Haram menambah kemegahan Baitullah, keindahan tak terhingga, menyambut senja di satu titik terindah bumi Allah. Sinar lembut menyapa pundakku, seakan ingin meyakinkan bahwa kebahagiaan yang kurasakan itu adalah nyata.

Dari sini shaf-shaf shalat terlihat jelas, melingkar mengitari Baitullah. Di radius sepuluh meter dari Baitullah terlihat aktifitas tawaf, gemuruh istighfar dan tasbih memenuhi seisi masjid.

Aku tidak sempat mengamati seluruh isi masjid, sayang rasanya jika detik-detik berharga ini dilewatkan tanpa menatapi Baitullah yang baru saja kutemui.

Pertemuan paling menegangkan yang mengaduk-aduk seisi belantara dada dan menggetarkan tebing di tepiannya. Pertemuan terdahsyat diantara khayalan imani dan alam nyata. Kurasakan bulu-bulu di tubuhku berdiri, seakan ingin ikut menyaksikan kemegahan iconic yang sekarang berdiri persis di hadapan.

Kakiku tertancap kaku di lantai marmer putih sejuk itu, tak sadar jika saat itu aku berdiri di daerah lingkar tawaf. Daerah radius 10 meter dari Baitullah, tempat penuh rahmat yang tak pernah sepi dikelilingi jemaah yang diberkahi. Sedikit terkejut, satu tangan menyentuh bahuku dari belakang. Memberikan isyarat agar aku memulai shalat sebagai salam penghormatan terhadap Masjid-Nya.

Akupun mundur beberapa langkah, kurapatkan jari-jari kaki, mengarahkan wajah, jiwa, hati dan fikiran serta seluruh tubuh ke Baitullah. Kutegarkan hati dari rasa yang terus berkecamuk. Kuangkat kedua tangan bak lambaian mesra teruntuk Baitullah, kuarahkan telapak tangan ke arah Baitullah yang tak ragu lagi berdiri di hadapan. Bibirku bergetar melantunkan takbir terindah. Suaraku parau menahan desakan nafas yang mulai tak teratur.

Allaahuakbar...

"Allah Maha Besar lagi sempurna kebesaran-Nya, segala puji bagi Allah dengan segenap pujian, Maha Suci Allah sepanjang pagi dan petang. Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dalam keadaan lurus lagi berserah diri, dan aku bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri.." (Do’a Iftitah)

Kulanjutkan dengan Al Fatihah, kakiku bergetar, kelopak mata tak sanggup lagi membendung derasnya air mata yang mengalir dari sudu-sudutnya. Tetes demi tetes kubiarkan mengalir lembut menelusuri pipi dan akhirnya terjatuh bersatu dengan Masjidil Haram.

Entahlah..
Surah al Fatihah itu seakan meresap dalam di hati. Ayat-ayat itu memang dibaca setiap hari, namun disana kurasakan nikmatnya irama kekhusyukan. Biasanya saat-saat dalam shalat, kuhanya menghadirkan bayangan Baitullah, tapi saat itu Baitullah ada di hadapan.

Di titik inilah bayangan dosa dan kemunafikan yang mengotori langkah-langkah selama ini terlihat jelas, seperti mengolok-olok jiwak yang gundah.

Betapa malunya jika mengingat diri, hatipun tersipu-sipu. Mengingat perjalanan hidup dengan liku-likunya, 24 tahun sudah kaki ini terlunta-lunta di permukaan bumi. Masa muda yang seharusnya kupergunakan untuk mempersiapkan hari senja nanti, sedikit saja yang bisa kupersembahkan untuk addinnul Islam-Mu ini ya Rabb..

Aku malu, tak pantas rasanya diriku yang kotor ini berdiri di hadapanmu ya Baitullah. Betapa tidak bersyukurnya diri ini, tahun-tahun yang kulewati adalah masa yang panjang. Tapi sedikit saja waktu yang dipakai untuk berusaha memahami isi Al-Quran. Sedikit saja waktu yang kupergunakan untuk mengambil bagian dalam perebutan warisan terbesar dari Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam berupa ilmu dan berbagai tuntunan dalam hadits-haditsnya...

Sungguh ribuan hari dan malam telah kulalui. Namun diri ini lebih banyak mengeluh daripada memperhatikan kebaikan yang belum kusadari. Tak terhitung sudah dosa kedua mataku, dosa-dosa yang disebabkan oleh mulutku dan ulah jari-jari ini. Tak terhitung sudah lapisan dosa-dosa riya yang tak terasa, kesombongan demi kesombongan yang mencemari seisi hati. Dosa-dosa hati yang kadang mengumpat nama-Mu ya Rabb. Padahal aku tahu bahwa para malaikat-Mu tak pernah lelah menuliskan setiap detail waktu yang Engkau lapangkan untuku.

Padahal aku tahu bahwa Engkau selalu menatapku dengan rahmat-Mu.
Entah apa yang akan ku jawab di hari hisab kelak ketika Engkau tanyakan atas masa mudaku ini, atas setiap detik-detik, menit-menit, jam-jam, hari-hari, bulan dan dua puluh empat tahun yang telah kulalui ini..

Ya Rabb ampunilah pendosa ini..
Sedikit saja waktu yang kusempatkan untuk berlama-lama dalam shalat..
Jadikan tetesan-tetesan air mata ini saksi pelindung dari api neraka-Mu Ya Rabb..

Jadikan tetes-tetes air mata ini satu umpama kesungguhan akan taubatku, jadikanlah tetesan air mata ini sebuah celah harapan atas keridhaan-Mu. Karena hanya kasih saying-Mu lah yang akan mengeringkan lautan dosa ini...

Allahuakbar...
Aku lepaskan kedua lengan yang melingkar di bawah dadaku dan memulai rukuk, lalu sujud.

Kedua telapak tanganku kini menempel di lantai Masjidil Haram. Kubenamkan wajahku, kurendahkan segenap hati dan jiwaku, kulepaskan segela kesombongan dan prasangka-prasangka.

Mataku terpejam. Jiwaku seperti terlepas dari raga. Membayangkan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam dulu bersujud di tempat ini. Bersyukur atas kemenangan Islam yang dianugerahkan Allah saat gema penaklukan kota Makkah, menjadi tonggak-tonggak pertama kemenangan Islam di lembah ini 14 abad silam. Lembah yang saat ini telah berevolusi menjadi tempat wisata ruhani, menjadi kiblat utama shalatnya ummat Islam.

Di lembah ini, kubersujud menumpahkan air mata kerinduan mendalam. Kerinduan yang terjawab sudah, laksana kemarau panjang yang dihempas hujan semalam. Kerinduan ini telah hilang, berubah menjadi rasa-rasa yang tak bisa di ungkapkan.

Seakan ingin kukatakan kepada dunia, bahwa kenikmatan seperti inilah yang membuat tamu-tamu Allah terus mengalir kelembah ini!

Kenikmatan inilah yang membuat para ulama terdahulu berijtihad mengukuhkan sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam dan menetapkan kewajiban Hajj dalam rukun Islam yang kelima.

Begitu terencana, begitu istimewa, begitulah Islam. Peletakan dasar-dasar hukum al-Islam itu begitu sempurna dan mengagumkan. Hajj bukanlah sebuah beban atau paksaan. Tapi tantangan dan hadiah terindah bagi Muslimin dan Muslimah yang bisa meraihnya. Bagi jiwa-jiwa yang dikehendaki-Nya. Bagi jiwa-jiwa yang terpanggil saja.

“Maha Suci Tuhanku lagi Maha Tinggi, dan aku memuji kepada-Nya.”

Aku bangkit dari sujud dan sejenak menengadah menatap Baitullah, membaca do’a diantara dua sujud sambil menatapi Baitullah dalam-dalam.

“Wahai Tuhanku,
Ampunilah dosaku,
Belas kasihanilah aku,
Cukupilah segala kekuranganku,
Angkatlah derajatku, berilah rizqi kepadaku,
Berilah petunjuk kepadaku, berilah kesehatan kepadaku dan berilah ampunan kepadaku..”

Wajahku yang mulai basah kemudian tersungkur lagi. Menyempurnakan sujud di radius luar lingkar tawaf, kubenamkan hatiku disana beberapa saat, diantara derap kaki jemaah umrah yang melakukan tawaf memuaskan kerinduannya terhadap Baitullah.

Detik-detik yang berlalu begitu berharga, nafas-nafas terhembus pelan mencium aroma Rahmat yang bertaburan menyejukan amarah duniawi yang teredam disana.

Aku menutup shalat itu dengan dua salam..

Itu adalah shalat pertamaku di Al Haram. Shalat yang bersejarah dalam catatan harianku, dua rakaat yang begitu berharga untukku.

Aku membenarkan sabuk ihramku yang sedikit menurun. Berdiri, menarik nafas dalam-dalam, seperti ingin meredam debaran dada yang bersahutan dengan deru derap langkah kaki-kaki para tamu undangan Allah yang sedang bermesraan dengan Baitullah.

Setiap detik seperti mimpi, mimpi yang ingin ku ulang setiap saat dalam sadarku, keindahan menatap kesejukan aura dari Baitullah mampu meredam keserakahan duniawi yang telah menyeretku ke Negri ini.

Entahlah, kurasakan lantai marmer itu begitu sejuknya. Udara Makkah al-Mukaramah yang panas sepanjang tahun itu tak kurasakan lagi saat itu. Ada kesejukan saat wajahku terbenam di lantainya.

Kilauan air mata yang tertahan di kelopak mataku terus berjatuhan menyentuh lantai tak bertikar itu, seperti ingin menyapanya dan berkata: "Ahlan ya Baitullah, hari ini mata yang penuh dosa itu datang menghadapmu.."

....

BUKU REHAB HATI - NAI
Hal 41 - 46 (Insya Allah, jika ada umur panjang bersambung hingga Hal 450)

Bukunya tersedia, inbox ana langsung dengan format pemesanan: NAMA, ALAMAT, No HP, dan Jumlah Pesanan.

Salam Bahagia
Nuruddin Al Indunissy

No comments:

Post a Comment