Tuesday, July 10, 2012

•♫. Prosa Dari Al Haram. #Rehab Hati-Bag 6


Kilauan air mata yang tertahan di kelopak mataku terus berjatuhan menyentuh lantai tak bertikar itu, seperti ingin menyapanya dan berkata: "Ahlan ya Baitullah, hari ini mata yang penuh dosa itu datang menghadapmu.."

Aku memulai tawaf dari sudut hajar aswad.
Seperti ragu, kakiku memasuki garis lingkar tawaf di radius terdekat ke Baitullah. Suasana histeria mulai terasa, disana tak kulihat lagi garis-garis ceria dalam mata mereka, wajah-wajah takut, gema istighfar dan takbir bersahutan menambah debaran detak jantung yang sedari tadi tak berirama.

Kakiku terseret berdesakan, tubuhku perlahan bergerak mengelilingi rumah Agung itu bersama ratusan atau mungkin ribuaan jemaah lain.

Dari jarak kurang dari 4 meter itu tak bosan kunikmati pesona bangunan bersejarah Islam yang dilindungi Allah ini. Bangunan batu hitam ini berdiri kokoh dengan ketinggian tak kurang dari 13 meter, membentuk kotak tidak sempurna dengan dimensi kurang lebih sekitar 11 x 12 meter.

Indah..
Keindahan tak terhingga yang telah dirasakan berjuta-juta Muslim, hanya mereka yang diberi anugerah untuk menyempatkan satu hari dalam puluhan tahun di masa hidupnya untuk bertemu Baitullah. Bangunan paling sakral dalam sejarah Islam, di mana seluruh ummat Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya dalam salat mereka dalam satu Icon Kiblat, Ka'bah Baitullah.

Mataku seperti dimanjakannya, benar-benar menakjubkan!
Ketakjuban itu bertambah, saat kuperhatikan sudut bawah dekat pintu Baitullah yang dikenal dengan pintu Multazam. Disana terpasang kokoh dan indah sebentuk batu hitam yang dulu pernah dicium Rasulullah!. Hajarul Aswad.

Batu itu kulihat tak henti-hentinya diciumi ribuan jemaah, mereka berdesakan seakan terlupa bahwa itu adalah hal yang bersifat sunnah saja. Di sudut itu orang begitu antusias berdesakan untuk mendapat bagian demi menyentuh dan menciumnya.

Diputaran pertama itu aku hanya melambaikan tangan dari jauh, dan melanjutkan konsentrasi membaca do’a tawaf putaran pertama dari buku kecil ditanganku.

Badanku terus bergerak melewati pintu Multazam, tanganku melambai mengantarkan ciuman dari jauh, persis seperti yang jemaah lain lakukan ketika tidak sempat menyentuh Multazam dari dekat.

Disekitaran ini aroma terasa berbeda dengan sudut-sudut lain Baitullah.
Kudengar tangisan-tangisan keras mereka, disana ribuan jemaah berdiri dan berdo’a memohon ampunan. Pintu multazam dikenal sebagai tempat mustazab untuk berdo’a.

Hatiku bergetar hebat ketika Multazam berada tepat di samping kiri bahuku, seperti ada aura magnetis yang menarik wajahku untuk menatapnya lebih lama.

Tapi disana tidaklah sendirian, lingkaran yang tak pernah sepi jemaah tawaf itu selalu ramai siang malam. Begitupun saat itu, sepertinya tak ada waktu untuk sejenak saja berdiri disana, karena dorongan dari belakang begitu kuatnya.

Tubuhkupun terdorong dan maju. Kakiku bergerak lagi menuju Hijir Ibrahim, menyentuhnya dan menyempurnakan tawaf pertama setelah melewati Hijr Ismail, kemudian bertemu lagi di rukun Yamani.

Kunikmati detik demi detik, langkah demi langkah..
Memandangnya, menyentuhnya, dan merasakan kehebatan Auranya. Meski sesak dan sempit, tapi itulah indahnya ukhuwwah Islamiah yang sebenarnya.

Senyum lembut tanpa sapa..
Merasakan indahnya hati-hati yang menyatu
Dalam satu irama Tauhid..

Tidak ada lagi perbedaan..
Tidak ada lagi kesusahan..
Tidak ada lagi keangkuhan..
Semua hati bertekuk lutut dalam satu irama tahmid..

Kami berada dalam satu simphoni
Khawatir…bilakah dosa itu tidak terampuni..?
Akan kemanakah lagi hati ini menangis dan mengadu..

Labbaika Ya Baitullah...
Labbaika Allahumma Labbaik…
Labbaika laa syarika lata labbaik...
Innal Hamda...
Wanikmata…
Laka wal Mulk
Laa syarika lak..

Aku datang wahai Baitullah.
Aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah.
Tak ada sekutu bagi Mu.
Sesungguhnnya segala puji.
Dan nikmat nikmat adalah milik Mu.
Tak ada sekutu bagi Mu...

Disini ku ungkapkan
Semesra yang ku bisa,
Tak ada ragu dan malu.
Tak ada mata yang peduli,
Semua sibuk memuji-Mu

Tawaf beberapa putaran
Menyapa rukun yamani,
Menyentuh dinding-dinding Baitullah..

Dua rakaat di maqom Ibrahim..
Dua rakaat di hijr Ismail, menyentuh lagi Yamani..

Mengintip Hajarul aswad
Berebutan menghisapnya..

Kami terus berputar dengan arus tawaf. Di putaran tawaf kelima ini mulai tumbuh khawatir, jika saja di 7 putaran tawaf ini aku benar-benar tidak bisa mencium Hajar Aswad, padahal masjid terhitung longgar.

Aku membulatkan tekad lagi untuk mengerahkan semua kemampuan untuk mencium Hajar Aswad, melaksanakan apa yang pernah Rasullulloh Shalallahu Alaihi Wassalam lakukan dulu.

Aku mulai memasuki lingkaran terdekat ke dinding Baitullah. Sekitar empat meter tepat dari hajar aswad, aku mulai memepetkan tubuh dan memegangi kain hitam tebal yang menyelimuti Baitullah, sedikit demi sedikit menekan tubuhku kepada tubuh tubuh besar di depanku.

Tidaklah mudah untuk menyentuh Hajar Aswad. Gelora yang berkobar di dadaku untuk menggapainya sama dirasakan juga oleh ribuan jemaah lain. Tidak kurang dari 15 menit aku berhimpitan disana, tiba-tiba tubuhku terpental jauh kebelakang, seorang jemaah bertubuh kekar dari sebelah kanan mendorong barisan kami.

Tidak ada yang marah disana. Semua paham dan saling memahami, hanya saja semua tidak bisa mengendalikannya.

Diantara sesak itu, aku bangkit lagi dan mencoba menerobos dari sebelah kiri, aku memepetkan tubuhku ke Baitullah dan memegang tali kain hitam yang menyelubungi Baitullah. Sementara jarak tubuhku ke hajar aswad hanya 1,5 meter lagi.

Subhanallah..
Dorongan dari belakang begitu kuat. Di depanku berhimpitan 6 orang membentuk satu baris, di sisi kananku juga demikian. Mereka membentuk baris-baris tidak teratur mengarah ke Hajar Aswad. Barisan itu melingkar menuju satu titik di sudut Baitullah.

Satu persatu jemaah di depanku berhasil menciumnya, dari arah sinilah kebanyakan mereka berhasil. Beberapa kali tubuhku ditarik oleh mereka yang tak sabar dari belakang atau yang menyerobot dari samping kanan dan kiri.

Semangatku tetap berkobar untuk merebut kesempatan ini, sebuah kesempatan yang jarang kudapati. Tidak ada jaminan tahun berikutnya aku bisa menemuinya lagi. Semangatku tidak leleh hanya karena melawan sakit terhimpit ataupun ditarik-tarik.

Aku terus berdo’a agar bisa menciumnya, sambil terus mengerahkan sekuat tenaga untuk maju bersaing dengan ratusan semangat jihadi yang sama.

Dari sana terlihat ada seorang Muslim yang hanya 10 sentimeter lagi dari Hajar Aswad tiba-tiba terpental karena dorongan dari sisi lain. Namun hal itu makin menyulut semangatku.

Kini hanya terhalang satu orang lagi. Tubuhku mulai menerobos memegangi bibir metal putih berkilau yang mencengkram hajar aswad itu. Aku memegangnya erat-erat, lebih dari 3 menit. Aku merapatkan kelima jariku, berjuang agar tubuh tidak ikut terpental oleh hardikan dari belakang sambil menunggu orang di depanku berhasil menciumnya.

Akhirnya saat itu tiba, kini giliranku. Ratusan mata menatapku iri. Tangan kiriku memegang tali kain Baitullah, tangan kananku memegan bibir batu hajar aswad. Sementara kakiku tidak menginjak lantai masjid karena terangkat dorongan dari sisi kanan, kiri dan belakang.

Beberapa menit selanjutnya tubuhku tergantung terombang-ambing dorongan. Hajar Aswad hanya 25 centimeter dihadapan wajahku. Aku terus bertakbir agar diberi kekuatan, aku terus bertakbir dan bertakbir sementara dorongan dari belakang terus menguat...

Situasi semakin memanas setelah polisi khusus yang menjaga Hajar Aswad di depanku mengeluarkan paksa satu kepala jemaah persis di depanku yang mencium hajar aswad terlalu lama.

Sepersekian detik celah untuk mencium hajar Aswad terlihat, tepat saat itu ide muncul di benakku. Aku mengepalkan kepalan tangan kananku dan mengangkatnya keatas sambil berteriak!

“ALLAHUAKBAR!!!”

Itu adalah teriakan takbir terhebat yang pernah ku teriakan, dan takbir itu ternyata tidak sia-sia, puluhan atau mungkin ratusan wajah disekeliling sejenak terhenti dari aktifitas dorong mendorongnya dan menatapku. Aku sedikit merasa bersalah, tapi disaat itulah, wajah dan kepalaku masuk kelubang rumah Hajar Aswad dan menciumnya sepenuh hati.

Allah Kareem..
Mencium sesuatu yang dulu Rasulullah cium.

Aduhai lembutnya..
Aduhai mesranya..
Aku tahu engkau hanyalah batu..
Tapi Rasulullah junjunan kami telah menciumnya.
Dan kami mengikutinya.

Umar bin Al-Khathab Radiyallahu Anhu berkata: “Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu.”[ ]

Sayang peristiwa ciuman pertama itu hanya berlangsung beberapa detik saja, karena aku tahu dibelakangku banyak Muslim dan Muslimah yang mengantri. Aku mengeluarkan kepalaku, dan tersenyum penuh kemenangan. Alhamdulillah..

Perjuangan berikutnya adalah keluar dari tempat itu, perjuangan yang sama sulitnya ketika memasuki area ini, melawan arus desakan tubuh tubuh besar yang memburu satu sunnah ini.

Tidak diragukan lagi, kedudukan mencium Hajar Aswad ini adalah Sunnah. Hal yang Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Sayang jika hal ini terlewatkan dalam Umrah atau Hajj atau kunjungan kita ke Baitullah lain, apalagi jika hal itu adalah terjadi hanya sekali dalam hidup.

Hikmah yang kupetik adalah, apa yang akan terjadi, seandainya aku dalam posisi ini di usia senja? Berdesakan diantara jutaan orang..

Aku menyelinap keluar dari tempat itu, mendekati pintu Multazam yang terletak disebelah kanan Hajar Aswad.

Disini suasana sangat berbeda, semua mata berkabut memandang pintu itu. Aku berdiri persis dibawahnya, terhalang beberapa jemaah.

Dinding hatiku bergetar lagi.
Kurasakan syaraf-syaraf mengantarkan salam..
Bulu-bulu berdiri terkagum kagum, darah di dalam nadiku berpacu, tubuhku menggeletar. Mataku mulai berkabut lagi, sesaat kemudian tetes-tetes mulai berjatuhan dari sudut mataku. Mengalir deras seperti ingin menghantarkan sesal-sesal.

Inilah Pintu Multazam!

.....
BUKU REHAB HATI - NAI
Hal 46 - 51 (Insya Allah, jika ada umur panjang bersambung hingga Hal 450)

Bukunya tersedia, inbox ana langsung dengan format pemesanan: NAMA, ALAMAT, No HP, dan Jumlah Pesanan.

Salam Bahagia
Nuruddin Al Indunissy

No comments:

Post a Comment